Puasa Si Bocil Kurus Karya Mas MS
Hujan baru saja reda di langit Pontianak. Udara masih pengap, bau tanah basah bercampur anyir selokan yang mampet. Langit mendung, seolah enggan memberi sedikit saja cahaya matahari. Di bawah pohon waru di ujung gang, seorang bocah kurus duduk memeluk lutut. Matanya yang cekung menatap perutnya yang berbunyi pelan.
"Puasa itu berat, ya, Mak?" tanyanya lirih.
Di belakangnya, seorang perempuan renta duduk di atas dipan kayu bekas pallet yang reyot. Mak Siti mengelus kepala anaknya. Ia tahu anaknya lapar. Bahkan tadi malam, bocah itu hanya makan nasi dengan garam. Tidak ada sahur yang layak. Tapi anaknya, si bocah kurus bernama Dul, tetap ingin puasa. Katanya, ia ingin seperti teman-teman di surau.
"Kita nggak punya apa-apa, Mak. Tapi kalau puasa, Tuhan lihat kita sama kan, Mak?"
Mak Siti tersenyum pahit. Lapar dan kemiskinan sudah jadi teman lama dalam rumah mereka yang lebih pantas disebut gubuk. Lantai papan, dinding bilik bolong-bolong. Dul hanya punya satu baju, lusuh dan kebesaran. Tapi anak itu keras kepala. Sejak subuh tadi ia bersikeras puasa.
Siang makin terik. Lalat-lalat beterbangan di sekitar ember berisi air bekas cuci piring. Di seberang gang, warung Mbok Sri ramai. Aroma ayam goreng dan sayur lodeh menguar. Dul menelan ludah, perutnya semakin berontak.
Seorang bocah lain datang membawa es lilin. "Dul, buka aja puasamu. Nih, aku punya es!"
Dul menggeleng. Matanya terpaku pada tetesan air yang mengalir dari es itu, menggoda, dingin. "Nggak boleh. Kata Pak Ustaz, kalau puasa harus kuat."
"Tapi kamu lapar! Nggak ada yang lihat kok kalau kamu batal sekarang."
Dul memalingkan wajah. Ia menggigit bibir. "Tapi Tuhan lihat," jawabnya lirih.
Langit makin gelap. Angin berhembus dingin. Di dalam rumah, Mak Siti berusaha menanak nasi dari beras yang hanya segenggam. Tapi gas habis. Kayu bakar juga tak ada. Ia menghela napas. Tidak ada yang bisa dimasak. Lalu terdengar suara Dul dari luar.
"Mak, nanti kita buka pakai apa?"
Mak Siti terdiam. Matanya berkaca-kaca.
Tepat saat azan maghrib berkumandang, Dul duduk di lantai, menatap piring kosong di depannya. Di luar, suara takjil dibagikan, anak-anak bersorak mendapat kolak manis dan gorengan renyah. Tapi di rumah ini, hanya ada segelas air putih. Mak Siti menatap Dul dengan haru.
Dul tersenyum. "Nggak apa-apa, Mak. Yang penting hari ini aku kuat puasa."
Mak Siti menahan tangis. Dalam gelapnya hidup, anaknya tetap bersinar.
Malam itu, Dul tidur lebih awal. Lelah dan lapar membawanya ke alam mimpi. Namun, belum lama ia terlelap, suara ketukan di pintu membangunkannya. Mak Siti buru-buru membuka pintu.
Di luar, Mbok Sri berdiri dengan sebuah rantang di tangannya. "Ini, Siti. Aku lebihin lauk buat kalian."
Mak Siti terkejut. "Mbok… kami… kami nggak bisa bayar."
Mbok Sri tersenyum. "Siapa suruh bayar? Aku dengar Dul puasa seharian. Bocah sekecil itu kuat nahan lapar, masa kita yang sudah tua nggak bisa berbagi?"
Air mata Mak Siti jatuh. Ia menerima rantang itu dengan tangan gemetar. Ketika ia membuka isinya, ada nasi hangat, sayur bening, dan sepotong tempe goreng. Tidak mewah, tapi lebih dari cukup untuk Dul.
"Dul, bangun Nak. Kita masih bisa makan," bisik Mak Siti sambil mengusap kepala anaknya.
Dul mengucek matanya, lalu menatap makanan di depannya. Matanya berbinar. "Alhamdulillah, Mak!"
Malam itu, Dul makan dengan lahap. Setiap suapan terasa seperti hadiah besar. Ia belajar sesuatu hari itu. Bahwa puasa bukan hanya tentang menahan lapar, tapi juga tentang berbagi dan menerima kebaikan.
Dul mengunyah tempe goreng dengan lahap. Namun, tiba-tiba ia berhenti, menatap piringnya yang masih berisi setengah nasi. Ia menoleh ke Mak Siti.
"Mak, besok kita bisa sahur, kan?" tanyanya polos.
Mak Siti terdiam. Matanya menatap rantang yang mulai kosong. Di luar, suara orang-orang berbuka masih terdengar, riang, penuh tawa.
Angin berhembus pelan, membawa aroma makanan dari warung Mbok Sri yang mulai tutup. Dul masih menunggu jawaban, sementara Mak Siti hanya menatap bulan yang bersembunyi di bayang-bayang awan.
Di luar, bulan sabit tersenyum dari balik awan.
6 Ramdhan, 6 Maret 2025
Muji Susianto lebih akrab dengan Mas MS. Ayah dari dua anak yang mulai Remaja. Lahir dan merayap di jalan-jalan rantau yang terjal penuh luka. Orang yang selalu gelisah dengan kondisi lingkungan. Hidup tenang di rerimbun pohon bebunyian alam, namun kesepian di dunia pendidikan yang mulai lari tak tentu arah.
Leave a Comment